Orde
berasal dari bahasa Latin yaitu kata “ordo” yang berarti deretan, susunan,
kelas, aturan, atau ketertiban. Oleh karena itu, pengertian orde dapat
diartikan sebagai suatu bagian/anggota yang memiliki banyak unsur yang diatur
melalui prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut dapat mengatur bagaimana
hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya, sehingga timbul suatu
kesatuan yang tersusun baik.
Orde
Lama adalah sebuah sebutan yang ditujukan bagi Indonesia
di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Soekarno memerintah Indonesia dimulai
sejak tahun 1945-1968. Sedangkan orde baru adalah periode setelah
berlangsungnya orde lama. Orde baru di Indonesia adalah sebutan untuk mewakili
sistem di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. Era presiden Soeharto berkuasa
di Indonesia dimulai sejak runtuhnya orde lama pada tahun 1968 sampai dengan
dimulainya orde reformasi pada tahun 1998.
Dekret
Presiden (1959) dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan
Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai penggantiUUDS 1950. Anggota
konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya
sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan.Sementara, di
kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin
kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di
depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk
kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituantemelaksanakan pemungutan suara.
Sistem
Pemerintahan Demokrasi Liberal
Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) bersama
Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), dua nasionalis paling
terkemuka di Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945, bersama dengan publikasi konstitusi yang pendek dan sementara (UUD 1945),
tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir. Nyatanya akan membutuhkan
empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang - setelah dibebaskan dari
Jerman di Eropa - kembali untuk mengklaim kembali koloni mereka.
Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni
mereka di Asia Tenggara yang sangat menguntungkan namun kemudian harus
menghadapi kenyataan juga. Di bawah tekanan internasional, Belanda akhirnya
mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali untuk wilayah barat
pulau Papua). Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan 'Republik Indonesia
Serikat' yang memiliki konstitusi federal yang dianggap terlalu banyak
dipengaruhi oleh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera diganti dengan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian menjadi dasar
hukum sistem pemerintahan parlementer, yang menjamin kebebasan individu dan
mengharuskan tentara untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi presiden,
secara garis besar, hanya memiliki fungsi seremonial dalam sistem ini.
Pada masa demokrasi liberal ini, partai-partai
seperti PNI, PKI, Masyumi memiliki partisipasi yang sangat besar di dalam
pemerintahan. Mereka mendapatkan kursi-kursi di dalam parlemen (Dewan
Perwakilan Rakyat) sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Atas dasar amanat
Undang-undang Dasar Sementara 1950, maka dibentuklah kabinet yang bertanggung
jawab kepada parlemen. Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapatkan dukungan
mayoritas dari perlemen, jika tidak mandate yang telah diberikan haru
sdikembalikan lagi kepada presiden. Setelah itu, dibentuk kembai kabinet baru
untuk menggantikan kabinet selanjutnya agar dapat menjalankan roda
pemerintahan.
Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam
pembicaraan-pembicaraan konstitusi - meskipun dalam topik-topik lain tidak
mewakili kelompok yang homogen - ingin Indonesia menjadi sebuah negara Islam
yang diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-kelompok lain menganggap bahwa
pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan persatuan Indonesia dan bisa
memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme karena terdapat jutaan orang
non-Muslim serta banyak Muslim yang tidak terlalu strik di Indonesia.
Hal lain yang menyebabkan kecemasan di pihak
perwakilan partai-partai Islam maupun militer adalah kembalinya Partai Komunis
Indonesia (PKI). Setelah dilarang oleh pemerintahanan kolonial pada tahun 1927
karena mengorganisir pemberontakan-pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra
Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menjadi salah satu
partai paling populer dalam skala nasional maka merupakan kekuatan politik.
Makanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk
menyatukan sudut pandang yang berbeda-beda ini. Pada bulan Juni 1945, Soekarno
menyampaikan pandangannya mengenai kebangsaan Indonesia dengan memproklamasikan
filosofi Pancasila. Pancasila ini adalah lima prinsip yang akan menjadi dasar
Negara Indonesia:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia
Namun, ada satu masalah berkelanjutan yang menjadi
penghalang persatuan masyarakat Indonesia yang sangat pluralistis melalui
Pancasila yaitu adalah tuntutan pendirian negara Islam oleh partai-partai
Islam. Pada awalnya, Panitia Sembilan (komite yang terdiri dari sembilan tokoh
kemerdekaan yang merumuskan dasar negara Indonesia) setuju untuk menambahkan
tambahan pendek pada sila pertama: 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalani
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Namun, sebelum diumumkan ke publik,
tambahan pada dasar negara tahun 1945 versi pertama ini (dikenal sebagai
"Piagam Jakarta") dihapuskan karena kekuatiran bahwa hal ini bisa
menimbulkan kemarahan dari kelompok non-Muslim atau para Muslim yang tidak
terlalu religius. Penghapusannya kemudian menyebabkan ketidakpercayaan yang
dalam pada kelompok nasionalis sekuler oleh komunitas Muslim yang lebih
ortodoks.
Pada masa demokrasi liberal ini, Indonesia berhasil
menjalankan pemuli pertama pada tanggal 29 september 1955 dengan agenda untuk
memilih anggota parlemen yang akan dilantik pada 20 Maret 1956. Pada pemilu ini
juga, Indonesia berhasil membentuk suatu badan yang bertugas untuk menyusun
konstitusi tetap dari Negara Indonesia yang diberi nama dengan Badan Konstituante.
LIHAT JUGA: Kolonialisme & Imperialisme Eropa
Sistem
Pemerintahan Demokrasi Parlementer
Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950-an
ditandai oleh ketidakstabilan. Alasan utamanya adalah perbedaan sudut pandang
mengenai dasar ideologis negara. Situasi ini terlihat dalam pemilihan umum
pertama di Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi pada tahun 1955 dan
dianggap jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun sebelum
Indonesia bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua
partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama, atau NU (Nahdatul
Ulama telah memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952) mendapatkan
masing-masing 20,9% dan 18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara PKI
meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada mayoritas satu partai yang bisa menguasai pemerintahan
sehingga kabinet di masa parlementer dibentuk dengan membangun koalisi-koalisi
antara berbagai aliran ideologi. Dari 1950 sampai 1959, tujuh kabinet yang
memerintah berganti-ganti secara cepat, dan setiap kabinet gagal membuat
perubahan yang signifikan untuk negara.
Gerakan subversif yang berdampak adalah Piagam
Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara dan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. Keduanya dimulai pada akhir tahun
1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan tuntutan-tuntutan reformasi
politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin para perwira
militer, didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central Intelligence Agency
(CIA) dari Amerika Serikat (AS) yang menganggap popularitas PKI sebagai sebuah
ancaman besar.
Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah
pusat berhasil menghancurkan gerakan-gerakan ini pada awal 1960an. Terakhir,
para mantan anggota militer bentukan Pemerintah Kolonial Belanda yang bernama
Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) memproklamasikan Republik Maluku
Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil dikalahkan oleh kekuatan militer
Indonesia pada tahun yang sama, konflik bersenjata berlanjut hingga tahun 1963.
Sistem
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin
Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah
menghambat perkembangan Indonesia karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam
kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno adalah "Demokrasi
Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur sistem
kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki
lebih banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer,
yang tidak senang dengan perannya yang kecil dalam soal-soal politik hingga
saat itu, mendukung perubahan orientasi ini. Pada tahun 1958, Soekarno telah
menyatakan bahwa militer adalah sebuah 'kelompok fungsional' yang berarti
mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada periode Demokrasi
Terpimpin, perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar. Perbedaan
mendasar antara sistem pemerintahan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin
terletak pada kekuasaan presiden. Di dalam demokrasi liberal, parlemen memilih
kekuasaan yang luas untuk menjalankan pemerintahan dan pengambilan keputusan
Negara. Namun di dalam sistem demokrasi terpimpin, presidenlah yang memiliki
kekuasaan tersebut, bahkan presiden memikili kekuasaan hampir seluruh bidang
pemerintahan.
Secara resmi, Indonesia mulai menerapkan sistem
demokrasi terpimpin sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh
presiden Soekarno. Maka pada saat itu, kabinet Djuanda dibubarkan dan
digantikan dengan kabinet kerja yang dipimpin oleh Soekarno sendiri selaku
perdana menteri dan Ir.Djuanda selaku menteri pertama. Pada masa pemerintahan
ini, focus kebijakan berada di sector pangan, sandang, dan pembebasan Irian
Barat. Di masa ini juga, Indonesia membentuk badan-badan eksekutif maupun
legislative seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional.
Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin
Soekarno adalah tendensi anti Barat dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau
memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau Papua dari
Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini
ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia
pada tahun selanjutnya.
Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik
konfrontasi melawan Malaysia. Ia menganggap pendirian Federasi Malaysia,
termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah Kalimantan yang sebelumnya dikuasai
Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial dan
melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk ‘menghancurkan’ Malaysia.
Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia dari PBB
karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun 1965,
Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan
mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan
Bank Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti
dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk situasi ekonomi Indonesia yang
telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.
Gerakan
Misterius 30 September 1965
Salah satu peristiwa yang paling membekas dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah peristiwa G30S/PKI yang masih menuai
kontroversi sampai sekarang. Salah satu versi tentang pergerakan ini timbul
dari pemerintahan orde baru yang menyatakan bahwasanya gerakan ini dilakukan
untuk merebut kekuasaan tertinggi yang berada di tangan Soekarno selaku
pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata dan Presiden Seumur Hidup berdasarkan
konsep dalam sistem Demokrasi terpimpin. Tindakan ini dipimpin oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan bantuan beberapa organisasi-organisasi underbouw yang
masih tersisa pasca peristiwa 1948.
Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar.
Pada 30 September 1965, menjadi jelas betapa berbahayanya campuran politis yang
telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu, enam jenderal dan satu letnan
diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang menamakan diri
Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer yang
terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada
bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno.
Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang
serangan untuk mencegah kudeta militer ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kemudian mengambil alih
kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi setelah pembunuhan
atasannya, dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut komunis dan
orang-orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah,
Jawa Barat, Bali dan Sumatra Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara
400.000 sampai satu juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan
pembantaian adalah unit-unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang
mendapatkan senjata dari militer) dan Ansor (organisasi pemuda militan dari
NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan 1966. Namun, banyak isu
mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-komunis selanjutnya tetap tidak
jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar tidak akan diketahui kebenarannya.
LIHAT JUGA: Rangkuman Lengkap Peristiwa G30S/PKI 1965
Dampak-dampak yang Ditimbulkan,
antara lain adalah:
a. Timbulnya Demonstrasi Menentang PKI.
Penyelesaian terhadap G30S/PKI ini sejatinya akan
diputuskan saat sidang Dwikora pada tanggal 6 Oktober 1965. Namun, massa yang
sudah tidak sabar menuntut agar penyelasaian ini dilaksanakan secepatnya dengan
cara seadil-adilnya. Maka timbullah berbagai demonstrasi massa menuntut hal
tersebut.
b. Mayjen Soeharto Diangkat Menjadi Panglima AD
Pada saat tengah berlangsungnya sidang Kabinet
Dwikora yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, ajudan presiden melaporkan bahwa
diluar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan, Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil
Perdana Menteri Dr.Johannes Leimena dan beliau berangkat menuju istana Bogor
didampingi oleh Waperdam I Dr. Subandrio dan Waperdam II Chairul Saleh.
Di tempat yang lain, tiga orang perwira tinggi
Angkatan Darat yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadi rJenderal M.Yusuf,
dan Brigadir Jenderal Amir Mahmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto
selaku Panglima Kostrad/Pangkopkamtib untuk meminta izin menghadap Presiden. Setelah
mendapatkan izin, mereka berangkat menuju Bogor dan melaporkan kepada Soekarno
bahwa ABRI khususnya AD sudah dalam kondisi siap siaga, namun mereka juga
meminta presiden untuk mengambil kebijakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi
laporan tersebut, presiden Soekarno Surat Perintah Sebelas Maret atau yang
lebih dikenal dengan nama Supersemar yang ditujukan kepada Letjen Soeharto
selaku Pangkopkamtib untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan NKRI.
Jatuhnya
Kekuasaan Orde Lama
Dalam rangka menjalankan Supersemar, Soeharto
menjalankan beberapa kebijakan untuk menangkap dan meruntuhkan rezim PKI dan
pengikut-pengikutnya di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi:
1. Pembubaran dan pelarangan PKI dan ormas-ormasnya
2. Menangkap 15 orang menteri kabinet Dwikora yang
dicurigai terlibat PKI
3. Membersihkan DPRGR dan MPRS dari orang-orang PKI
4. Pembentukan Kabinet Ampera
Kebijakan-kebijakan ini dirasa cukup untuk menanggapi
Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang dilancarkan untuk menjaga stabilitas Negara
sejak dilancarkannya G30S/PKI. Di dalam Kabinet Ampera itu sendiri, Soekarno
medapatkan tempat selaku pimpinan. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan tetap
dipegang oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jend. Soeharto. Akibatnya,
terjadi dualisem kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan
mengingat stabilitas Negara yang belum normal.
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik,
namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan. Kalangan militer kebertaan dengan
kebijakan-kebijakan yang dimabil oleh Soekarno yang dirasa berpihak kea rah
komunisme. Ditambah dengan mengalirnya bantuan dari Uni Soviet dan Tiongkok
semakin menambha kecurigaan mereka terhadap presiden Soekarno. Selama dua tahun,
Suharto dengan pelan namun pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan
Soekarno ke pinggir.
Akibatnya, pada 22 februari 1967, dalam rangka untuk
mengatasi konflik yang semakin memanas, presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan
kepada Jend.Soeharto. penyerahan kekuasaan ini dilengkapi dengan Pengumuman
Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI tanggal 20 februari 1967.
Pengumuman tersebut dilatarbelakangi atas ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, maka pemegang Supersemar yang memegang
jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan
pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.
Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar
penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang
Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara
resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Hal ini menandai dimulainya
Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah tahanan rumah di Bogor (Jawa
Barat) dan kesehatannya menurun hingga kematiannya pada tahun tahun 1970.
0 komentar:
Posting Komentar