Kamis, 07 Desember 2017

Published Desember 07, 2017 by with 0 comment

Sejarah Sistem Pemerintahan Orde Lama Soekarno

Orde berasal dari bahasa Latin yaitu kata “ordo” yang berarti deretan, susunan, kelas, aturan, atau ketertiban. Oleh karena itu, pengertian orde dapat diartikan sebagai suatu bagian/anggota yang memiliki banyak unsur yang diatur melalui prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut dapat mengatur bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya, sehingga timbul suatu kesatuan yang tersusun baik.
Orde Lama adalah sebuah sebutan yang ditujukan bagi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Soekarno memerintah Indonesia dimulai sejak tahun 1945-1968. Sedangkan orde baru adalah periode setelah berlangsungnya orde lama. Orde baru di Indonesia adalah sebutan untuk mewakili sistem di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. Era presiden Soeharto berkuasa di Indonesia dimulai sejak runtuhnya orde lama pada tahun 1968 sampai dengan dimulainya orde reformasi pada tahun 1998.
Dekret Presiden (1959) dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai penggantiUUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan.Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituantemelaksanakan pemungutan suara.
Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal
Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) bersama Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), dua nasionalis paling terkemuka di Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bersama dengan publikasi konstitusi yang pendek dan sementara (UUD 1945), tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir. Nyatanya akan membutuhkan empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang - setelah dibebaskan dari Jerman di Eropa - kembali untuk mengklaim kembali koloni mereka.
Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni mereka di Asia Tenggara yang sangat menguntungkan namun kemudian harus menghadapi kenyataan juga. Di bawah tekanan internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali untuk wilayah barat pulau Papua). Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan 'Republik Indonesia Serikat' yang memiliki konstitusi federal yang dianggap terlalu banyak dipengaruhi oleh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian menjadi dasar hukum sistem pemerintahan parlementer, yang menjamin kebebasan individu dan mengharuskan tentara untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi presiden, secara garis besar, hanya memiliki fungsi seremonial dalam sistem ini.
Pada masa demokrasi liberal ini, partai-partai seperti PNI, PKI, Masyumi memiliki partisipasi yang sangat besar di dalam pemerintahan. Mereka mendapatkan kursi-kursi di dalam parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Atas dasar amanat Undang-undang Dasar Sementara 1950, maka dibentuklah kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapatkan dukungan mayoritas dari perlemen, jika tidak mandate yang telah diberikan haru sdikembalikan lagi kepada presiden. Setelah itu, dibentuk kembai kabinet baru untuk menggantikan kabinet selanjutnya agar dapat menjalankan roda pemerintahan.
Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam pembicaraan-pembicaraan konstitusi - meskipun dalam topik-topik lain tidak mewakili kelompok yang homogen - ingin Indonesia menjadi sebuah negara Islam yang diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-kelompok lain menganggap bahwa pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan persatuan Indonesia dan bisa memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme karena terdapat jutaan orang non-Muslim serta banyak Muslim yang tidak terlalu strik di Indonesia.
Hal lain yang menyebabkan kecemasan di pihak perwakilan partai-partai Islam maupun militer adalah kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah dilarang oleh pemerintahanan kolonial pada tahun 1927 karena mengorganisir pemberontakan-pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menjadi salah satu partai paling populer dalam skala nasional maka merupakan kekuatan politik.
Makanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk menyatukan sudut pandang yang berbeda-beda ini. Pada bulan Juni 1945, Soekarno menyampaikan pandangannya mengenai kebangsaan Indonesia dengan memproklamasikan filosofi Pancasila. Pancasila ini adalah lima prinsip yang akan menjadi dasar Negara Indonesia:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia
Namun, ada satu masalah berkelanjutan yang menjadi penghalang persatuan masyarakat Indonesia yang sangat pluralistis melalui Pancasila yaitu adalah tuntutan pendirian negara Islam oleh partai-partai Islam. Pada awalnya, Panitia Sembilan (komite yang terdiri dari sembilan tokoh kemerdekaan yang merumuskan dasar negara Indonesia) setuju untuk menambahkan tambahan pendek pada sila pertama: 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalani syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Namun, sebelum diumumkan ke publik, tambahan pada dasar negara tahun 1945 versi pertama ini (dikenal sebagai "Piagam Jakarta") dihapuskan karena kekuatiran bahwa hal ini bisa menimbulkan kemarahan dari kelompok non-Muslim atau para Muslim yang tidak terlalu religius. Penghapusannya kemudian menyebabkan ketidakpercayaan yang dalam pada kelompok nasionalis sekuler oleh komunitas Muslim yang lebih ortodoks.
Pada masa demokrasi liberal ini, Indonesia berhasil menjalankan pemuli pertama pada tanggal 29 september 1955 dengan agenda untuk memilih anggota parlemen yang akan dilantik pada 20 Maret 1956. Pada pemilu ini juga, Indonesia berhasil membentuk suatu badan yang bertugas untuk menyusun konstitusi tetap dari Negara Indonesia yang diberi nama dengan Badan Konstituante.


Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer
Demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950-an ditandai oleh ketidakstabilan. Alasan utamanya adalah perbedaan sudut pandang mengenai dasar ideologis negara. Situasi ini terlihat dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilihan umum pertama ini terjadi pada tahun 1955 dan dianggap jujur dan adil (dan akan membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun sebelum Indonesia bisa memiliki contoh lain dari pemilu yang jujur dan adil). Dua partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan Nahdlatul Ulama, atau NU (Nahdatul Ulama telah memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952) mendapatkan masing-masing 20,9% dan 18,4% suara. PNI meraih 20,3% suara, sementara PKI meraih 16,4%. Ini berarti tidak ada mayoritas satu partai yang bisa menguasai pemerintahan sehingga kabinet di masa parlementer dibentuk dengan membangun koalisi-koalisi antara berbagai aliran ideologi. Dari 1950 sampai 1959, tujuh kabinet yang memerintah berganti-ganti secara cepat, dan setiap kabinet gagal membuat perubahan yang signifikan untuk negara.
Gerakan subversif yang berdampak adalah Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. Keduanya dimulai pada akhir tahun 1950an dan menkonfrontasi pemerintah pusat dengan tuntutan-tuntutan reformasi politik, ekonomi, dan regional. Gerakan-gerakan ini dipimpin para perwira militer, didukung oleh anggota-anggota Masyumi dan Central Intelligence Agency (CIA) dari Amerika Serikat (AS) yang menganggap popularitas PKI sebagai sebuah ancaman besar.
Dengan menggunakan kekuatan militer, pemerintah pusat berhasil menghancurkan gerakan-gerakan ini pada awal 1960an. Terakhir, para mantan anggota militer bentukan Pemerintah Kolonial Belanda yang bernama Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) memproklamasikan Republik Maluku Selatan pada tahun 1950. Sekalipun berhasil dikalahkan oleh kekuatan militer Indonesia pada tahun yang sama, konflik bersenjata berlanjut hingga tahun 1963.
Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin
Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno adalah "Demokrasi Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur sistem kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki lebih banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Pihak militer, yang tidak senang dengan perannya yang kecil dalam soal-soal politik hingga saat itu, mendukung perubahan orientasi ini. Pada tahun 1958, Soekarno telah menyatakan bahwa militer adalah sebuah 'kelompok fungsional' yang berarti mereka juga menjadi aktor dalam proses politik dan pada periode Demokrasi Terpimpin, perannya tentara dalam politik akan menjadi lebih besar. Perbedaan mendasar antara sistem pemerintahan demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin terletak pada kekuasaan presiden. Di dalam demokrasi liberal, parlemen memilih kekuasaan yang luas untuk menjalankan pemerintahan dan pengambilan keputusan Negara. Namun di dalam sistem demokrasi terpimpin, presidenlah yang memiliki kekuasaan tersebut, bahkan presiden memikili kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Secara resmi, Indonesia mulai menerapkan sistem demokrasi terpimpin sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno. Maka pada saat itu, kabinet Djuanda dibubarkan dan digantikan dengan kabinet kerja yang dipimpin oleh Soekarno sendiri selaku perdana menteri dan Ir.Djuanda selaku menteri pertama. Pada masa pemerintahan ini, focus kebijakan berada di sector pangan, sandang, dan pembebasan Irian Barat. Di masa ini juga, Indonesia membentuk badan-badan eksekutif maupun legislative seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional.
Karakteristik penting lain dari Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat dalam kebijakan-kebijakannya. Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau Papua dari Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun selanjutnya.
Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan Malaysia. Ia menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan wilayah Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai kelanjutan dari pemerintah kolonial dan melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses untuk ‘menghancurkan’ Malaysia. Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya Indonesia dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun 1965, Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia. Hal ini memperburuk situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim berbahaya pada saat itu.
Gerakan Misterius 30 September 1965
Salah satu peristiwa yang paling membekas dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia adalah peristiwa G30S/PKI yang masih menuai kontroversi sampai sekarang. Salah satu versi tentang pergerakan ini timbul dari pemerintahan orde baru yang menyatakan bahwasanya gerakan ini dilakukan untuk merebut kekuasaan tertinggi yang berada di tangan Soekarno selaku pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata dan Presiden Seumur Hidup berdasarkan konsep dalam sistem Demokrasi terpimpin. Tindakan ini dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan bantuan beberapa organisasi-organisasi underbouw yang masih tersisa pasca peristiwa 1948.
Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar. Pada 30 September 1965, menjadi jelas betapa berbahayanya campuran politis yang telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu, enam jenderal dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang menamakan diri Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno.
Juga tidak ada bukti bahwa PKI berada di belakang serangan untuk mencegah kudeta militer ini. Namun, Suharto, kepala dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kemudian mengambil alih kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi setelah pembunuhan atasannya, dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut komunis dan orang-orang yang diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali dan Sumatra Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara 400.000 sampai satu juta orang. Diduga bahwa pihak-pihak yang melakukan pembantaian adalah unit-unit militer, kelompok-kelompok kriminil sipil (yang mendapatkan senjata dari militer) dan Ansor (organisasi pemuda militan dari NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan 1966. Namun, banyak isu mengenai kudeta ini dan tindakan-tindakan anti-komunis selanjutnya tetap tidak jelas sampai saat ini dan kemungkinan besar tidak akan diketahui kebenarannya.


Dampak-dampak yang Ditimbulkan, antara lain adalah:
a. Timbulnya Demonstrasi Menentang PKI.
Penyelesaian terhadap G30S/PKI ini sejatinya akan diputuskan saat sidang Dwikora pada tanggal 6 Oktober 1965. Namun, massa yang sudah tidak sabar menuntut agar penyelasaian ini dilaksanakan secepatnya dengan cara seadil-adilnya. Maka timbullah berbagai demonstrasi massa menuntut hal tersebut.
b. Mayjen Soeharto Diangkat Menjadi Panglima AD
Pada saat tengah berlangsungnya sidang Kabinet Dwikora yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, ajudan presiden melaporkan bahwa diluar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri Dr.Johannes Leimena dan beliau berangkat menuju istana Bogor didampingi oleh Waperdam I Dr. Subandrio dan Waperdam II Chairul Saleh.
Di tempat yang lain, tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadi rJenderal M.Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Mahmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad/Pangkopkamtib untuk meminta izin menghadap Presiden. Setelah mendapatkan izin, mereka berangkat menuju Bogor dan melaporkan kepada Soekarno bahwa ABRI khususnya AD sudah dalam kondisi siap siaga, namun mereka juga meminta presiden untuk mengambil kebijakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi laporan tersebut, presiden Soekarno Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih dikenal dengan nama Supersemar yang ditujukan kepada Letjen Soeharto selaku Pangkopkamtib untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan NKRI.
Jatuhnya Kekuasaan Orde Lama
Dalam rangka menjalankan Supersemar, Soeharto menjalankan beberapa kebijakan untuk menangkap dan meruntuhkan rezim PKI dan pengikut-pengikutnya di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi:
1. Pembubaran dan pelarangan PKI dan ormas-ormasnya
2. Menangkap 15 orang menteri kabinet Dwikora yang dicurigai terlibat PKI
3. Membersihkan DPRGR dan MPRS dari orang-orang PKI
4. Pembentukan Kabinet Ampera
Kebijakan-kebijakan ini dirasa cukup untuk menanggapi Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang dilancarkan untuk menjaga stabilitas Negara sejak dilancarkannya G30S/PKI. Di dalam Kabinet Ampera itu sendiri, Soekarno medapatkan tempat selaku pimpinan. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan tetap dipegang oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jend. Soeharto. Akibatnya, terjadi dualisem kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan mengingat stabilitas Negara yang belum normal.
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan. Kalangan militer kebertaan dengan kebijakan-kebijakan yang dimabil oleh Soekarno yang dirasa berpihak kea rah komunisme. Ditambah dengan mengalirnya bantuan dari Uni Soviet dan Tiongkok semakin menambha kecurigaan mereka terhadap presiden Soekarno. Selama dua tahun, Suharto dengan pelan namun pasti memperluas kekuasaannya dan menyudutkan Soekarno ke pinggir.
Akibatnya, pada 22 februari 1967, dalam rangka untuk mengatasi konflik yang semakin memanas, presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jend.Soeharto. penyerahan kekuasaan ini dilengkapi dengan Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI tanggal 20 februari 1967. Pengumuman tersebut dilatarbelakangi atas ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, maka pemegang Supersemar yang memegang jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Hal ini menandai dimulainya Orde Baru Suharto. Soekarno ditempatkan di bawah tahanan rumah di Bogor (Jawa Barat) dan kesehatannya menurun hingga kematiannya pada tahun tahun 1970.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.